Memasuki
era industri 4.0, hampir segala sendi kehidupan manusia sehari-hari dilakukan
melalui online. Tidak mengherankan apabila informasi semakin mudah didapat dan
komunikasi semakin cepat dijangkau. Namun sayangnya, tidak semua informasi
tersebut benar dan obyektif, yang bahasa kerennya sering disebut “hoax”.
Hal ini tidak dapat dihindari mengingat setiap
individu bebas membuat konten berita sesuai dengan keinginannya. Meskipun Kementerian
Komunikasi dan Informasi RI (Kemkominfo RI) telah membuat situs aduan “berita
hoax”, namun ternyata jumlah aduan dari masyarakat yang masuk tidak sebanding
dengan “berita hoax” baru yang muncul. Akibatnya berita menyesatkan tersebut
terus tumbuh semakin subur.
Sebenarnya
pembuat “berita hoax” tidak terlalu besar dampaknya di masyarakat, namun yang
lebih membahayakan adalah penyebarnya. Kenyataan membuktikan bahwa dengan
banyaknya media sosial yang ditandai dengan munculnya anggota group dari
berbagai komunitas, menjadikan berita mudah dan cepat menyebar. Tanpa memahami
berita yang diterima, dengan menggunakan dua jarinya, mereka langsung
menyebarkan kepada teman dalam komunitasnya. Teman tersebut menyebarkan kepada temannya
lagi dan begitu seterusnya. Inilah yang menjadikan “berita hoax” menyebar tanpa
kendali.
Untuk
menghindari atau mengurangi penyebaran “berita hoax” seperti tersebut diatas,
sudah selayaknya masing-masing individu dapat mempraktekkan kata bijak yang
berbunyi “ saring sebelum “sharing”, atau dalam bahasa Inggris sering
disebutkan “thinking before posting”. Apabila hal ini dapat dilakukan setiap
individu, niscaya “berita hoax” tidak akan menyebar bebas, sehingga dapat
menciptakan kondisi bijak di dunia maya dan rukun di dunia nyata.
Hal
ini sesuai tema yang diambil dalam FORUM DIALOG & LITERASI MEDIA SOSIAL, yang
diadakan oleh Suara Muhammadiyah bekerjasama dengan Kemkominfo RI, pada hari
Sabtu, 16 Maret 2019 di Hotel Cavinton, Yogyakarta. Dalam pengantarnya, Prof. Dr. H. Ahmad
Syafi'i Maarif menyampaikan agar masing-masing individu dapat menggunakan sosial
media dengan bijak, sehingga tidak terjadi perang di dunia maya dan pecah di
dunia nyata.
Dalam
acara tersebut, dihadiri oleh berbagai agama dan komunitas yang ada di D.I.
Yogyakarta dan sekitarnya. Sebagai tanda untuk bersama-sama bersosial media
yang bijak, para narasumber dan perwakilan peserta memakai rompi dengan bentuk
dan warna seragam. Hal ini sebagai
simbol bahwa masing-masing sudah satu kata dan tindakan untuk mewujudkan kondisi
bijak di dunia maya dan rukun di dunia nyata.
Ironis, peningkatan kecepatan laju informasi yang tidak sejalan dengan kemampuan kita mengkritisi dan mempertanyakan kebenaran sebuah informasi.
BalasHapusDua jempol patut kita acungkan kepada pembuat berita hoax yang mampu mengemas informasi mereka dengan cukup apik sehingga mampu menggerakkan pembaca untuk 'buru-buru' membagikan berita tersebut.
😥
Ayo kita mulai dari diri masing masing untuk saring sebelum sharing dan thinking bofore posting
Hapus