Judul buku :
Bilangan Fu
Penulis :
Ayu Utami
Penerbit :
KPG
Cetakan :
Oktober - 2018
Jumlah halaman :
560
Buku
ini ingin menampilkan dua sudut pandang seseorang dalam menyikapi kejadian
sehari-hari. Ada sudut pandang terkesan modern yang tidak lagi mempercayai
hal-hal takhyul, namun ada pula yang menghargai dan mempercayai takhayul, adat-istiadat,
sesajen dan sejenisnya.
Yuda
seorang pemanjat tebing dan petaruh sejati, sangat rasional, modern, tidak
mempercayai takhyul dan membenci televisi dan membenci kota. Secara tidak sengaja, dia bertemu dengan
seorang pemanjat lain bernama Parang Jati, saat mau membeli peralatan memanjat
di rumah sahabatnya yang telah ‘pensiun’ sebagai pemanjat karena menikah dan
membuka usaha menjual alat-alat untuk panjat tebing.
Parang
Jati seorang mahasiswa Geologi ITB semester akhir, penduduk lereng Watugunung
yang berjari tangan 12, sangat menghargai alam dan mempercayai adanya ‘penunggu’
di setiap ruang di alam raya. Dia menganggap sesajen ibarat seseorang membayar
bea cukai atau pajak dan upeti kepada penguasa. Dalam pandangan Parang jati,
manusia modern sudah demikian congkak dan tidak menghargai alam, sehingga
perusakan hutan membabi buta sering kali terjadi oleh manusia yang mengutamakan
kepentingan ekonomi diatas kepentingan alam itu sendiri.
Bersama
Marja, pacar Yuda yang juga seorang mahasiswi desain, ketiganya kemudian
berpetualangan dalam ranah pemikiran, mencari apa sebenarnya bilang Fu atau Hu
itu. Mereka mengungkap mitos yang melingkup Sewugunung, serta beragam kearifan
lokal yang sejatinya menyelamatkan. Untuk menghidupkan alur cerita, juga dikisahkan
persahabatan (cinta) segitiga antara Parang Jati, Yuda, dan Marja ini memang
asyik untuk dinikmati.
Melalui
novel ini, penulis mencoba memberikan kritik melalui modernisme, monoteisme dan
militerisme. Didalamnya terdapat perdebatan tentang segala sesuatu yang
berkaitan dengan hal spiritual, seperti mistis, takhayul, sesajen dan juga
kehidupan beragama monotheisme.
Sebelum
datangnya agama dan pola modernisme, alam menjadi sesuatu yang dipuja banyak
manusiadan dikeramatkan serta tidak bisa diganggu seenaknya. Namun sejak pola
modernisme masuk, yang selalu menekankan pada pembuktian dan bertolak belakang
hingga mendongengkan takhayul, hal itu memberikan dampak yang negatif.
Modernisme
menjadikan jalan untuk memperkaya kaum kapitalis, karena orang tak lagi percaya
pada hal-hal gaib atau mistik yang mendampingi alam, sehingga sesukanya
melakukan eksploitasi dan penggunaan berlebihan. Contohnya penambangan daerah
yang merupakan ekosistem yang patut dilindungi, atau penebangan ilegal terhadap
pohon-pohon yang sebenarnya menyimpan sumber-sumber penghidupan bagi seluruh
manusia.
Dikisahkan
bahwa Parang Jati yang menghormati pohon keramat bukan berarti menyembahnya,
maka pembaca disadarkan bahwa siapa yang menyangka adanya beberapa larangan
takhayul yang pernah lestari di pedesaan, seperti sajen terhadap pohon besar
atau mengeramatkan ikan-ikan di sendang keramat, semuanya tersebut bertujuan
pelestarian alam? Berkat sajen-sajen itu, hutan-hutan lestari. Orang jadi tidak
seenaknya sendiri merusak dan mengunduli hutan karena takut kena tuah. Orang
juga jadi takut mengotori sendang, sehingga binatang-binatang eksotis di situ
bisa dilindungi dari kepunahan.
Penulis
juga menyoroti monoteisme atau kaum-kaum agamis yang memiliki kepercayaan
tertentu atau keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Meskipun tidak meyakini
atau dengan niat mempersekutukan Tuhan, penulis memilih gagasan tetap
melestarikan sajen dan pemujaan terhadap roh roh halus. Memang kenyataannya, dalam
hidup ini, manusia tidak hidup sendiri. Banyak jin yang berdampingan dengan manusia
dan mungkin saja tinggal di sekitarnya. Pada intinya hutan-hutan dan mata air
yang ada memang patut dijaga karena disana juga hidup hewan-hewan yang
membutuhkan rumah dan makanan.
Pada
bagian akhir diungkap militerisme. Cerita yang disajikan jelas dan nampak sekali
bahwa kritik yang disampaikan adalah ditujukan bagi pemerintahan. Tampak dalam
bab ini yang lebih banyak mendominasi cerita adalah kejadian-kejadian ganjil
yang mengikuti reformasi
Lantas
apa arti, makna serta hubungannya dengan Bilangan Fu?
Dalam
penjabarannya Fu atau Hu adalah bilangan ke 13, dalam hitungan Jawa kuno. Ada
hitungan : ji, ro, lu, pat, mo, nem, tu, wu, nga, luh, las, sin, hu (hal.304).
(Ji=siji/1, ro=loro/2, lu=telu/3, pat=papat/4, mo=limo/5, nem=enem/6,
tu=pitu/7, wu=wolu/8, nga=sanga/9, luh=sepuluh/10, las=sebelas/11,
sin=lusin/12, Hu=13). Di negara Barat, angka 13 biasanya disebut-sebut sebagai
angka sial, sedangkan dalam kepercayaan China, angka 13 bisa berarti 1+3 = 4
atau bliangan Tsi angka sial di China.
Bilangan
Fu mengajak
pembaca untuk berpikir terbuka dan lebih obyektif dalam menentukan apa yang dilihat
dan atau didengar sebagai suatu kebenaran atau bukan. Tidak serta merta semua
mitos itu bohong dan semua fakta itu benar adanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar