Rabu, 23 Januari 2019

Resensi : Bilangan Fu


Judul buku                  : Bilangan Fu
Penulis                         : Ayu Utami
Penerbit                       : KPG
Cetakan                       : Oktober - 2018
Jumlah halaman           : 560




Buku ini ingin menampilkan dua sudut pandang seseorang dalam menyikapi kejadian sehari-hari. Ada sudut pandang terkesan modern yang tidak lagi mempercayai hal-hal takhyul, namun ada pula yang menghargai dan mempercayai takhayul, adat-istiadat, sesajen dan sejenisnya.
Yuda seorang pemanjat tebing dan petaruh sejati, sangat rasional, modern, tidak mempercayai takhyul dan membenci televisi dan membenci kota.  Secara tidak sengaja, dia bertemu dengan seorang pemanjat lain bernama Parang Jati, saat mau membeli peralatan memanjat di rumah sahabatnya yang telah ‘pensiun’ sebagai pemanjat karena menikah dan membuka usaha menjual alat-alat untuk panjat tebing.
Parang Jati seorang mahasiswa Geologi ITB semester akhir, penduduk lereng Watugunung yang berjari tangan 12, sangat menghargai alam dan mempercayai adanya ‘penunggu’ di setiap ruang di alam raya. Dia menganggap sesajen ibarat seseorang membayar bea cukai atau pajak dan upeti kepada penguasa. Dalam pandangan Parang jati, manusia modern sudah demikian congkak dan tidak menghargai alam, sehingga perusakan hutan membabi buta sering kali terjadi oleh manusia yang mengutamakan kepentingan ekonomi diatas kepentingan alam itu sendiri.
Bersama Marja, pacar Yuda yang juga seorang mahasiswi desain, ketiganya kemudian berpetualangan dalam ranah pemikiran, mencari apa sebenarnya bilang Fu atau Hu itu. Mereka mengungkap mitos yang melingkup Sewugunung, serta beragam kearifan lokal yang sejatinya menyelamatkan. Untuk menghidupkan alur cerita, juga dikisahkan persahabatan (cinta) segitiga antara Parang Jati, Yuda, dan Marja ini memang asyik untuk dinikmati.
Melalui novel ini, penulis mencoba memberikan kritik melalui modernisme, monoteisme dan militerisme. Didalamnya terdapat perdebatan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan hal spiritual, seperti mistis, takhayul, sesajen dan juga kehidupan beragama monotheisme.
Sebelum datangnya agama dan pola modernisme, alam menjadi sesuatu yang dipuja banyak manusiadan dikeramatkan serta tidak bisa diganggu seenaknya. Namun sejak pola modernisme masuk, yang selalu menekankan pada pembuktian dan bertolak belakang hingga mendongengkan takhayul, hal itu memberikan dampak yang negatif.
Modernisme menjadikan jalan untuk memperkaya kaum kapitalis, karena orang tak lagi percaya pada hal-hal gaib atau mistik yang mendampingi alam, sehingga sesukanya melakukan eksploitasi dan penggunaan berlebihan. Contohnya penambangan daerah yang merupakan ekosistem yang patut dilindungi, atau penebangan ilegal terhadap pohon-pohon yang sebenarnya menyimpan sumber-sumber penghidupan bagi seluruh manusia.
Dikisahkan bahwa Parang Jati yang menghormati pohon keramat bukan berarti menyembahnya, maka pembaca disadarkan bahwa siapa yang menyangka adanya beberapa larangan takhayul yang pernah lestari di pedesaan, seperti sajen terhadap pohon besar atau mengeramatkan ikan-ikan di sendang keramat, semuanya tersebut bertujuan pelestarian alam? Berkat sajen-sajen itu, hutan-hutan lestari. Orang jadi tidak seenaknya sendiri merusak dan mengunduli hutan karena takut kena tuah. Orang juga jadi takut mengotori sendang, sehingga binatang-binatang eksotis di situ bisa dilindungi dari kepunahan.
Penulis juga menyoroti monoteisme atau kaum-kaum agamis yang memiliki kepercayaan tertentu atau keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Meskipun tidak meyakini atau dengan niat mempersekutukan Tuhan, penulis memilih gagasan tetap melestarikan sajen dan pemujaan terhadap roh roh halus. Memang kenyataannya, dalam hidup ini, manusia tidak hidup sendiri. Banyak jin yang berdampingan dengan manusia dan mungkin saja tinggal di sekitarnya. Pada intinya hutan-hutan dan mata air yang ada memang patut dijaga karena disana juga hidup hewan-hewan yang membutuhkan rumah dan makanan.
Pada bagian akhir diungkap militerisme. Cerita yang disajikan jelas dan nampak sekali bahwa kritik yang disampaikan adalah ditujukan bagi pemerintahan. Tampak dalam bab ini yang lebih banyak mendominasi cerita adalah kejadian-kejadian ganjil yang mengikuti reformasi
Lantas apa arti, makna serta hubungannya dengan Bilangan Fu?
Dalam penjabarannya Fu atau Hu adalah bilangan ke 13, dalam hitungan Jawa kuno. Ada hitungan : ji, ro, lu, pat, mo, nem, tu, wu, nga, luh, las, sin, hu (hal.304). (Ji=siji/1, ro=loro/2, lu=telu/3, pat=papat/4, mo=limo/5, nem=enem/6, tu=pitu/7, wu=wolu/8, nga=sanga/9, luh=sepuluh/10, las=sebelas/11, sin=lusin/12, Hu=13). Di negara Barat, angka 13 biasanya disebut-sebut sebagai angka sial, sedangkan dalam kepercayaan China, angka 13 bisa berarti 1+3 = 4 atau bliangan Tsi angka sial di China.
Bilangan Fu mengajak pembaca untuk berpikir terbuka dan lebih obyektif dalam menentukan apa yang dilihat dan atau didengar sebagai suatu kebenaran atau bukan. Tidak serta merta semua mitos itu bohong dan semua fakta itu benar adanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mencontoh Kehidupan Nabi Muhammad SAW

  Pada tahun ini, Maulid Nabi Muhammad SAW jatuh pada hari Kamis, 28 September 2023 yang bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal 1445 H . ...