Batik merupakan kerajinan dengan nilai seni tinggi dan
telah menjadi bagian dari budaya Indonesia. Namun belum semua masyarakat punya rasa
memiliki terhadap warisan yang sangat berharga tersebut. Hal ini dibutuhkan rasa
cinta terhadap batik, sehingga warisan luhur tersebut tetap lestari
Lahirnya batik tidak lepas dari perkembangan kebudayaan
kerajaan-kerajaan Jawa dan penyebaran ajaran Islam di Jawa. Majapahit dikenal
sebagai masa asal mula adanya batik. Saat tersebut membatik merupakan kegiatan
yang dilakukan didalam kerajaan/keraton dan hanya terbatas untuk pakaian raja. Namun
lambat laun batik mulai meluas dikerjakan oleh warga karena banyaknya abdi
dalem yang tinggal di luar komplek keraton.
Pada masa kerajaan tersebut, kebanyakan pembatik
merupakan perempuan yang mengisi waktu senggang. Para kaum perempuan menjadikan
keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian. Tidak dipungkiri
bahwa pada masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan.
Dengan perkembangan waktu akhirnya batik tidak terbatas hanya tulis, melainkan
ada pula batik cap yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini.
Bermula dari kondisi ini, akhirnya batik mulai menyebar ke berbagai daerah yang
akhirnya dikenal oleh masyarakat umum seperti saat ini.
Mengingat hampir setiap daerah di Indonesia memiliki batik khas masing-masing, baik dari corak, pewarnaan, motif, dan bahan pewarna, serta cara pembuatannya, maka pada 2 Oktober 2009, UNESCO yang merupakan lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan mengakui bahwa batik merupakan hasil kebudayaan tak benda yang dimiliki Indonesia. Sebuah penghargaan luar biasa yang patut dibanggakan dan harus dipertahankan. Ujud nyata rasa banggan berupa perasaan cinta pada batik dan selalu berusaha melestarikannya, agar generasi mendatang juga dapat menikmati dan merasakan indahnya nilai seni tesebut.
Namun kenyataannya, saat ini sangat sedikit masyarakat Indonesia yang masih menggeluti batik. Lebih parah lagi, jumlah sedikit tersebut hanya terbatas pada beberapa perempuan yang sudah lanjut usia. Para generasi muda lebih memilih profesi lain atau mencari pekerjaan keluar dari daerahnya yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan batik. Apabila hal ini dibiarkan terus tanpa ada antisipasi, niscaya lambat laun batik akan punah dan predikat tersebut hanya sia-sia.
Gambar 1 : Perajin batik dari Giriloyo, Bantul, Yogyakarta
Agar indahnya seni batik dapat dirasakan oleh generasi
mendatang, maka semua lapisan masyarakat memiiliki tanggung jawab untuk
pelestariannya. Mulai dari pemerintah
sebagai pemangku kebijakan, perusahaan/pusat kerajinan batik, sampai warga
masyarakat umum, semuanya memiliki tanggung jawab bersama-sama untuk
melestarikannya dalam kapasitas masing-masing.
Dari unsur masyarakat umum, kaum perempuan memiliki peran
lebih besar, mengingat pembuatan batik merupakan pekerjaan rumit yang
membutuhkan kecermatan dan ketelitian tinggi, dimana kedua hal tersebut
dimiliki oleh kebanyakan perempuan. Tidak mengherankan apabila pada saat
lahirnya batik dahulu, perempuan sebagai pemulanya.
Dengan perkembangan zaman yang ditandai semakin majunya
teknologi, membuat segala hal dituntut serba cepat dan praktis. Hal ini
mengakibatkan makin sedikit kaum perempuan yang masih bertahan menekuni
membatik. Selain dibutuhkan kecermatan dan ketelitian yang tinggi, juga
memerlukan waktu relatif lama dalam membuat sebuah produk batik.
Kunci utama untuk mengatasi hal di atas, masing-masing
diri perempuan harus memiliki rasa cinta terhadap batik. Dengan rasa cinta
tersebut, secara otomatis mereka akan selalu berusaha melestarikannya. Untuk
menumbuhkan rasa cinta batik yang merupakan warisan budaya Indonesia, seyogyanya
para kaum perempuan saat ini dapat melihat sepak terjang R.A. Kartini pada
zamannya.
R.A. Kartini telah memperjuangkan agar kaum perempuan
pribumi mendapat kesetaraan dalam mengenyam pendidikan dan mengembangkan diri
tanpa harus memandang strata sosial. Sebuah tindakan besar dan berat dibawah
penjajahan Belanda, namun tetap dilakukannya..
Mengingat saat ini sudah merdeka dan tidak ada penjajah
lagi, maka tantangan kaum perempuan bukan untuk mengusir penjajah, namun
mempertahankan rasa cinta terhadap batik yang merupakan salah satu warisan
budaya Indonesia. Disamping perasaan diri sendiri untuk cinta terhadap batik,
juga harus mengajak orang lain untuk mencintainya. Apabila sudah ada rasa
cinta, otomatis akan selalu berusaha melestarikannya
Menghidupkan Semangat R. A. Kartini
Meskipun R A Kartini lahir di kalangan bangsawan yang
notabene segala kebutuhan hidupnya sudah tercukupi, apabila hanya memikirkan
diri sendiri, niscaya tidak perlu susah payah menentang pemerintah Belanda. Dilandasi
dengan rasa cinta tanah air dan cinta terhadap sesama kum perempuan, R A
Kartini menentang pemerintah Belanda yang saat itu menganggap bahwa kaum
perempuan lebih rendah dan remeh derajadnya dibandingkan dengan kaum laki-laki.
Anggapan inilah yang mengusik hati R A Kartini untuk
membuktikan bahwa setiap perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama apapun
status mereka. Peran perempuan sangat esensial dalam mempersiapkan generasi
masa depan yang dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia.
Beranjak dari kenyataan dasar ini, R A Kartini bercita-cita
agar kaum perempuan pribumi mendapat kesetaraan dalam mengenyam pendidikan dan
mengembangkan diri tanpa harus memandang strata sosial. Perjuangan tersebut sudah membuahkan hasilnya
sampai saat ini, terbukti dengan banyaknya kaum perempuan mendapatkan kedudukan
penting yang biasanya diisi oleh kaum laki-laki. Memang untuk mengisi jabatan tertentu
di kantor-kantor pemerintah sudah dapat terealisir, namun semangat R.A.
Kaartini untuk menghidupkan nilai-nilai budaya termasuk salah satunya batik,
peran perempuan masih sangat minim.
Melestarikan Batik
Mengacu pada UUD 1945 amandemen ke empat pasal 32 ayat
(1). Ayat (1) yang berbunyi: “Negara
memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan
menjamin kekebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai
budayanya.”
Apabila ayat (1) tersebut diperinci, terdapat 3 potongan
makna yang terkandung di dalamnya. Pertama : “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia. . .”. Potongan
kalimat kedua berbunyi : ”…di tengah
peradaban dunia…”. Hal ini menegaskan bahwa kebudayaan Indonesia adalah
bagian dari kebudayaan dan perdaban dunia. Dilanjutkan potongan kalimat ketiga
: “…dengan menjamin kebebasan masyarakat
untuk memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Kalimat ini mencerminkan
pemenuhan kehendak tentang perlunya kebebasan dalam mengembangkan nilai budaya
masing-masing suku bangsa.
Jaminan seperti yang tercantum dalam ayat tersebut sudah
semestinya menjadi kekuatan dan semangat bagi anak bangsa untuk tetap
mempelajari, menghayati, mengamalkan, dan mempertahankan seni budaya bangsa. Warga masyarakat diberi kebebasan untuk
mengembangkan kreativitasnya masing-masing demi pelestarian batik yang menjadi
salah satu dari warisan seni budaya.
Cara paling sederhana yang dapat dilakukan untuk
melestarikan budaya batik adalah menanamkan rasa cinta kepada warga masyarakat,
mulai dari anak-anak, remaja sampai orang dewasa. Langkah yang sudah ditempuh
saat ini, setiap kantor pemerintah dan sekolah mulai TK, SD/MI, SMP/MTs sampai
SMA/SMK/MA pada hari-hari tertentu diwajibkan pemakaian batik. Akan lebih
lengkap lagi, apabila langkah tersebut juga mendapat dorongan dari rumah dan
lingkungannya.
Menengok sejarah batik yang pada zaman dulu ditekuni oleh
kaum perempuan, maka pada zaman seperti saat ini, juga dibutuhkan perempuan
untuk menjadi pelopornya. Perlu diketahui bahwa dalam menanamkan rasa cinta
terhadap batik tidak dapat dilakukan dengan cara instan, tetapi membutuhkan waktu yang panjang. Kehadiran perempuan
memiliki peran besar dalam menanamkan rasa cinta batik terhadap generasi
bangsa.
Kaum perempuan seyogyanya menjadi garda terdepan dalam
mensosialisasikan cinta batik. Salah caranya dengan mengajak anggota keluarga serta tetangga dan
teman kerja untuk mengenakan baju batik pada acara formal maupun suasana
santai, sehingga lambat laun akan menjadi kebiasaan di tengah masyarakat..
Apabila dalam diri seorang
perempuan sudah memiliki rasa cinta terhadap batik, niscaya tidak akan canggung
memakainya dalam kegiatan sehari-hari. Hal ini akan memudahkannya untuk mengajak
orang lain mulai dari anggota keluarga, tetangga sampai teman kerjanya untuk
mengenakan batik. Secara perlahan tapi pasti, budaya cinta batik dapat merambah
ke seluruh lapisan masyarakat, sehingga indahnya seni batik tetap lestari dan
dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang.
Dari uraian diatas, tampak bahwa peran kaum perempuan sangat besar,
baik dalam keluarga atau masyarakat dan negara. Apabila hal ini dimiliki oleh
setiap perempuan dalam sebuah keluarga, serta ada dukungan pemerintah dan
masyarakat, niscaya batik tetap lestari. Dengan demikian, predikat Yogyakarta
sebagai Kota Batik Dunia yang diberikan olaeh Dewan Kerajinan Dunia (World
Craft Council/WCC) pada bulan Oktober
2014 tetap dapat dipertahankan sehingga batik dapat dinikmati dan dirasakan
oleh generasi-generasi yang akan datang.
Note :
Tulisan ini menjadi Juara Harapan 3 Lomba Essay Hari Kartini yang
diselenggarakan oleh PBBI Sekar Jagad Yogyakarta
Penobatan sebagai Pemenang dilakukan di Pendopo
Royal Ambarukmo Yogyakarta pada hari Sabtu, 21 April 2018
Ayo Lestarikan Batik
BalasHapus