Lama banget gak nengok blog. Maklum pas agak banyak
outdoor ini.
Sekarang kucoba masuk lagi ya...!
Tulisan ini saya buat, setelah Balai Bahasa DIY (BBY)
mengambil sikap terkait laporan Setara Institute, yang menyebut bahwa : Yogyakarta
masuk kedalam daftar 10 besar daerah dengan kasus intoleransi tertinggi.
Sikap yang diambil BBY, menjaring aspirasi
masyarakat lewat literasi untuk membuat artikel bertema Bahasa, Sastra dan
Toleransi. Bagi artikel yang lolos, hari Rabu, 4 Desember 2019 diundang
mengikuti Lokakarya yang bertema “Merajut Toleransi Melalui Bahasa dan Sastra”.Ternyata
ada 66 peserta yang karya mereka siap dibukukan.
Tunggu sebentar lagi ya..., bukunya segera terbit.
Ini salah satu bab dari artikelku :
Suasana Lokakarya di Balai Bahasa DIY
Keberadaan
literasi membuat seseorang mudah berkomunikasi dalam masyarakat. Komunikasi
yang terjalin baik, meskipun di dalam
masyarakat banyak terdapat perbedaan setiap warganya, masing-masing dapat
memahami dan selalu menjaga sikap toleransi.
Perlu
diketahui bahwa keterampilan literasi
bukan hanya kemampuan membaca huruf dan kata dalam kalimat, tetapi harus
dipenuhi pemahaman informasi secara kritis dan analitis. Membaca harus dimaknai
secara luas, tidak hanya literal dan hanya terpaku pada teks melainkan juga
konteks, karena banyak informasi yang berbentuk nonteks. Memverifikasi,
menganalisis dan menguji coba terkait dengan berpikir kritis dan rasional yang
muncul harus diikuti kepekaan yang memunculkan empati.
Hal
ini perlu dipahami setiap warga, karena terjadinya tindakan intoleransi belakangan
ini, salah satunya disebabkan pemahaman informasi/berita yang masih dangkal. Informasi/berita
yang tersebar lewat media cetak atapun elektronik, terkadang ditelan mentah
tanpa cek kebenarannya. Lebih-lebih di era industri 4.0 seperti saat ini,
dengan kemajuan teknologi yang terus berkembang, ternyata juga merevolusi
pemikiran, perilaku dan karakter hampir semua penduduk di belahan dunia.
Termasuk
pula di Indonesia dan Yogyakarta, derasnya terjangan arus informasi melalui
dunia virtual berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku dan karakter penduduknya.
Apabila hal ini tidak mendapatkan perhatian dan penanganan serius, maka bukan
hanya ancaman konflik kekerasan antarsesama anak bangsa, melainkan juga akan
merambah ke disintegrasi bangsa.
Hal
ini menjadi tanggung jawab bersama semua lapisan masyarakat, mulai warga biasa,
tokoh masyarakat, tokoh agama sampai pemerintah. Warga lebih teliti dalam
menerima setiap informasi, tokoh masyarakat bisa peka terhadap perubahan yang
terjadi di wilayahnya, tokoh agama memberikan syiar yang menyejukkan dan
pemerintah melalui dinas terkait memfasilitasi bahan literasi yamg dibutuhkan. Keempat
unsur ini harus berjalan bersama saling bergandeng tangan untuk menghidupkan
budaya literasi demi tercapainya sebuah toleransi.
Yang
menjadi pertanyaan, bagaimana literasi dapat menjadi senjata ampuh untuk
melawan intoleransi yang sekarang cenderung mengalami penguatan? Dengan
kemampuan memverifikasi, menganalisis dan berpikir kritis serta rasional terhadap setiap informasi/berita yang
diterimanya, menjadikan kepekaan meningkat dan memunculkan empati. Sikap
terakhir inilah yang kebanyakan orang menyebut toleransi.
Setidaknya
terdapat tiga perilaku utama untuk terciptanya sebuah sikap toleransi. Pertama,
kesediaan berpikir terbuka terhadap segala bentuk perbedaan. Keterbukaan dalam
hal ini menyangkut sikap menerima perbedaan sebagai suatu fakta yang wajar.
Kedua, memahami pendapat orang lain secara empatik, dengan berusaha menempatkan
dirinya dalam posisi orang lain. Ketiga, mendahulukan persamaan yang dapat
ditemukan diantara berbagai perbedaan yang ada. Dengan sikap demikian ini, maka
perbedaan dapat menjadi jalan terwujudnya kebersamaan.
Meskipun
belakangan ini perilaku intoleransi di beberapa daerah di Indonesia termasuk Yogyakarta
mengalami pasang surut, namun melalui budaya literasi yang dilakukan terus
menerus dan konsisten, dapat berfungsi sebagai penangkalnya. Gerakan literasi
akan berujung pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dan mampu memutus pola pikir dan perilaku
intoleran sekaligus menguatkan solidaritas. Pada prinsipnya toleransi bukan
perilaku yang didasari nilai dan kebutuhan masyarakat tertentu, melainkan
kebutuhan semua ras manusia secara general.
Apabila
literasi sudah menjadi budaya masyarakat, yang hasil jangka panjangnya dapat
menumbuhkan sikap toleransi, maka predikat Yogyakarta masuk kedalam daftar 10
besar daerah dengan kasus intoleransi tertinggi berdasar hasil penelitian Setara Institute, lambat laun dapat terkikis.
Semua harus mewaspadai dan mengantisipasi kejadian intoleransi dengan
meningkatkan budaya literasi.
-=o0O0o=-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar