Rabu, 04 Desember 2019

Literasi dan Toleransi


Lama banget gak nengok blog. Maklum pas agak banyak outdoor ini.
Sekarang kucoba masuk lagi ya...!
Tulisan ini saya buat, setelah Balai Bahasa DIY (BBY) mengambil sikap terkait laporan Setara Institute, yang menyebut bahwa : Yogyakarta masuk kedalam daftar 10 besar daerah dengan kasus intoleransi tertinggi.
Sikap yang diambil BBY, menjaring aspirasi masyarakat lewat literasi untuk membuat artikel bertema Bahasa, Sastra dan Toleransi. Bagi artikel yang lolos, hari Rabu, 4 Desember 2019 diundang mengikuti Lokakarya yang bertema “Merajut Toleransi Melalui Bahasa dan Sastra”.Ternyata ada 66 peserta yang karya mereka siap dibukukan.
Tunggu sebentar lagi ya..., bukunya segera terbit.
Ini salah satu bab dari artikelku :


Suasana Lokakarya di Balai Bahasa DIY 


Keberadaan literasi membuat seseorang mudah berkomunikasi dalam masyarakat. Komunikasi yang terjalin baik,  meskipun di dalam masyarakat banyak terdapat perbedaan setiap warganya, masing-masing dapat memahami dan selalu menjaga sikap toleransi.
Perlu diketahui bahwa  keterampilan literasi bukan hanya kemampuan membaca huruf dan kata dalam kalimat, tetapi harus dipenuhi pemahaman informasi secara kritis dan analitis. Membaca harus dimaknai secara luas, tidak hanya literal dan hanya terpaku pada teks melainkan juga konteks, karena banyak informasi yang berbentuk nonteks. Memverifikasi, menganalisis dan menguji coba terkait dengan berpikir kritis dan rasional yang muncul harus diikuti kepekaan yang memunculkan empati.
Hal ini perlu dipahami setiap warga, karena terjadinya tindakan intoleransi belakangan ini, salah satunya disebabkan pemahaman informasi/berita yang masih dangkal. Informasi/berita yang tersebar lewat media cetak atapun elektronik, terkadang ditelan mentah tanpa cek kebenarannya. Lebih-lebih di era industri 4.0 seperti saat ini, dengan kemajuan teknologi yang terus berkembang, ternyata juga merevolusi pemikiran, perilaku dan karakter hampir semua penduduk di belahan dunia.
Termasuk pula di Indonesia dan Yogyakarta, derasnya terjangan arus informasi melalui dunia virtual berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku dan karakter penduduknya. Apabila hal ini tidak mendapatkan perhatian dan penanganan serius, maka bukan hanya ancaman konflik kekerasan antarsesama anak bangsa, melainkan juga akan merambah ke disintegrasi bangsa.
Hal ini menjadi tanggung jawab bersama semua lapisan masyarakat, mulai warga biasa, tokoh masyarakat, tokoh agama sampai pemerintah. Warga lebih teliti dalam menerima setiap informasi, tokoh masyarakat bisa peka terhadap perubahan yang terjadi di wilayahnya, tokoh agama memberikan syiar yang menyejukkan dan pemerintah melalui dinas terkait memfasilitasi bahan literasi yamg dibutuhkan. Keempat unsur ini harus berjalan bersama saling bergandeng tangan untuk menghidupkan budaya literasi demi tercapainya sebuah toleransi.
Yang menjadi pertanyaan, bagaimana literasi dapat menjadi senjata ampuh untuk melawan intoleransi yang sekarang cenderung mengalami penguatan? Dengan kemampuan memverifikasi, menganalisis dan berpikir kritis serta  rasional terhadap setiap informasi/berita yang diterimanya, menjadikan kepekaan meningkat dan memunculkan empati. Sikap terakhir inilah yang kebanyakan orang menyebut toleransi.
Setidaknya terdapat tiga perilaku utama untuk terciptanya sebuah sikap toleransi. Pertama, kesediaan berpikir terbuka terhadap segala bentuk perbedaan. Keterbukaan dalam hal ini menyangkut sikap menerima perbedaan sebagai suatu fakta yang wajar. Kedua, memahami pendapat orang lain secara empatik, dengan berusaha menempatkan dirinya dalam posisi orang lain. Ketiga, mendahulukan persamaan yang dapat ditemukan diantara berbagai perbedaan yang ada. Dengan sikap demikian ini, maka perbedaan dapat menjadi jalan terwujudnya kebersamaan.
Meskipun belakangan ini perilaku intoleransi di beberapa daerah di Indonesia termasuk Yogyakarta mengalami pasang surut, namun melalui budaya literasi yang dilakukan terus menerus dan konsisten, dapat berfungsi sebagai penangkalnya. Gerakan literasi akan berujung pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dan mampu memutus pola pikir dan perilaku intoleran sekaligus menguatkan solidaritas. Pada prinsipnya toleransi bukan perilaku yang didasari nilai dan kebutuhan masyarakat tertentu, melainkan kebutuhan semua ras manusia secara general.
Apabila literasi sudah menjadi budaya masyarakat, yang hasil jangka panjangnya dapat menumbuhkan sikap toleransi, maka predikat Yogyakarta masuk kedalam daftar 10 besar daerah dengan kasus intoleransi tertinggi berdasar hasil penelitian  Setara Institute, lambat laun dapat terkikis. Semua harus mewaspadai dan mengantisipasi kejadian intoleransi dengan meningkatkan budaya literasi.

-=o0O0o=-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mencontoh Kehidupan Nabi Muhammad SAW

  Pada tahun ini, Maulid Nabi Muhammad SAW jatuh pada hari Kamis, 28 September 2023 yang bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal 1445 H . ...